Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Januari 2011

The Living Fossil



The Last Dinosaur

Sphenodon punctatus atau biasa dikenal dengan sebutan Tuatara ini merupakan reptil tua endemik dari kepulauan Selandia Baru, yang berpenampilan layaknya kadal-kadalan dari ordo Sphenodontia. Dari sekian banyak species ordo yang sudah eksis 200 juta tahun yang lalu(Rhynchochepalia) ini, hanya dua diantaranya yang dapat bertahan hidup hingga sekarang. Reptil ini sangat dekat kekerabatannya dengan kadal-kadalan dan ular kuno. Sehingga dalam penelitian, species ini sangat menarik dari kebiasaan hidup atau perilakunya serta evolusi secara morfologinya.
Species yang harusnya sudah punah sekitar 65 juta tahun yang lalu ini berwarna hijau kecoklatan, dengan panjang mencapai 80 cm serta duri-duri sepanjang punggungnya yang umumnya terdapat pada tuatara jantan. Susunan giginya pun unik. Rongga mulutnya terdapat dua baris gigi depan dan belakang, dengan barisan gigi rahang atas lebih kedepan daripada gigi rahang bawah. Mereka dapat mendengar suara walaupun mereka tidak memiliki telinga eksternal, dan juga jika di lihat dari morfologi tulangnya, mereka memiliki banyak kemiripan evolusi dari ikan purba(ancient fishes). Berdasarkan banyak hal unik tersebut, maka tuatara sering disebut sebagai “fosil hidup”. Para peneliti mengungkapkan bahwa mereka mengalami evolusi yang signifikan sejak zaman mesoik.
 Nama “Tuatara” sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Maōri(baca: maouri) yang memiliki arti “puncak di punggung”. Status konservasi dari tuatara sudah digolongkan menjadi Endangered species sejak tahun 1895(saudaranya Sphenodon ghunteri statusnya tidak terdaftar hingga tahun 1989). Layaknya satwa liar lain, mereka juga terancam kepunahannya dialam akibat degradasi hutan dan kalah bersaing dengan predator lain seperti tikus pasifik(Rattus exulans) yang sering kita temui di kompleks perumahan. Sejatinya mereka telah punah di lingkungan alam mereka yang utama, tapi masih terdapat beberapa individu liar yang masih tersebar di kepulauan sekitar Selandia Baru. Terjadinya hal ini, Animal Rescue terdekat langsung berinisiatif untuk memonitor populasi mereka agar tidak punah.
Habitat tuatara sejatinya lebih cocok di daerah beriklim dingin seperti daerah mediteranian dan kutub. Mereka memiliki tingkat metabolisme tubuh yang sangat rendah untuk dikerabatkan dengan jenis-jenis kadal lainnya. Makanan utama mereka berkisar dari hewan-hewan tanpa tulang punggung/invertebrata.
Species ini sangat rentan dari kepunahan. Selain karena penangkapan oleh manusia sebagai satwa yang diperdagangkan dan terdegradasi oleh predator lain, mereka memiliki kematangan reproduksi yang sangat lambat. Tuatara betina baru bisa bertelur apabila umur meraka minimal 20 tahun. Proses pembuatan telur dalam indung telur mereka memakan waktu sekitar 1 tahun(12 bulan). Sekali bertelur, tuatara betina dapat bertelur sebanyak 12 hingga 17 butir dengan masa inkubasi sekitar 15 bulan.
Tuatara dapat hidup rata-rata hingga 60 tahun. Namun, banyak para peneliti percaya bahwa hewan ini dapat hidup lebih dari 100 tahun atau menyaingi lifespan penyu.

Referrence and source:
O’shea, Mark, Tim Halliday.2001. Dorling Kindersley: Reptiles and Amphibians. New york: Dorling Kindersley Publishing
[Redaksi Ensiklopedi Indonesia].1989. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Reptilia dan Amfibia. Jakarta:PT. Intermasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar